Sejarah Singkat Desa Kayang
Secara administrasi desa Kayang mulai terbentuk atau
berdiri pada tahun 1971 yang merupakan gabungan dari beberapa dusun antara lain
Marica, Kangge, Kawali, Darang dan lain-lain dengan ibukotanya Marica.
Asal
mula diberi nama desa Kayang karena dahulu orang tua atau nenek moyang yang
datang dari Flores dengan menggunakan perahu layar (Lambo atau Sampa Bajo)
membawa Kajang (anyaman dari daun tembikar) dan disambut baik oleh penduduk
kampung. Setelah itu Kajang (anyaman dari daun tembikar) itu dibentangkan dan
mereka pun duduk
diatasnya. Singkat cerita diatas Kajang (anyaman dari daun tembikar)
itulah mereka mulai memberikan nama desa Kajang (Kayang). Sedangkan nama Marica
diambil dari nama salah satu suku di desa Kayang yaitu suku Marisa.
Pada awal pembentukannya, sistem pemerintahan desa
Kayang masih bersifat feodal yaitu langsung menunjuk salah satu dari masyarakat
untuk menjadi kepala desa. Jauh sebelum adanya kepala desa, pada tahun 1905 –
1930 desa Kayang dipimpin oleh seorang raja yang bernama Dewa Gorang. Kemudian
pada tahun 1930 – 1971 diganti dengan istilah Tamukung. Ada dua Tamukung yang
memerintah desa Kayang selama periode ini, yakni Tamukung Timu Gorang yang
memerintah sejak tahun 1930 – 1940 dan Tamukung Sirang Timu Gorang yang
memerintah tahun 1940 hingga terbentuknya desa Kayang pada tahun 1971.
Setelah terbentuknya desa Kayang, Sirang Timu Gorang
kembali dipilih menjadi kepala desa Kayang. Dalam kepemimpinannya, Sirang Timu
Gorang memimpin desa Kayang selama 6 tahun yaitu periode 1971 – 1977. Setelah
sistem pemerintahan feodal, desa Kayang melaksanakan pemilihan kepala desa yaitu
dipilih langsung oleh masyarakat. Adapun kepala desa yang memimpin desa Kayang
antara lain yaitu :
a) Sirang
Timu Gorang yaitu periode tahun 1971 – 1977
b) Hasan
Karabi yaitu periode tahun 1977 – 1979
c) Sirang
Timu Gorang yaitu periode tahun 1979 – 1981
d) Juel.
K.Allung yaitu periode tahun 1981 – 1982
e) Halim.
ST. Gorang yaitu periode tahun 1982- 1997
f) Lajamuddin
Malik yaitu periode tahun 1997 – 2007
g) Musa
Hojang yaitu periode tahun 2007 sampai sekarang.
Pada tahun 2006, “Perda No. 15 Tahun 2006” Desa
Kayang berpisah dengan Kecamatan Pantar Barat dan membentuk Kecamatan
tersendiri yang diberi nama Kecamatan Pantar Barat Laut dengan ibukotanya
Marica.
Kecamatan Pantar Barat Laut membawahi 7 (tujuh) desa
yaitu Desa Kayang, Desa Marisa, Desa Alumang, Desa Lamma, Desa Beangonong, Desa
Kalondama Barat dan Kalondama Tengah. Secara administrasi Desa Kayang yang merupakan ibukota kecamatan
memiliki 2 Dusun, 4 RW, 8 RT dengan jumlah KK sebanyak 205.
2.
Keadaan
Geografis, Batas, dan Luas Wilayah Desa Kayang
a. Letak Geografis
Desa Kayang berada di wilayah pemerintahan Kabupaten
Alor, Kecamatan Pantar Barat Laut. Desa Kayang merupakan wilayah desa pantai
dan pegunungan.
b. Luas
Wilayah
Luas wilayah Desa Kayang adalah 9,47 KM². Desa
Kayang terdiri dari wilayah daratan dan wilayah pegunungan.
c. Batas
Wilayah
Wilayah desa Kayang memiliki batas wilayah yang
cukup jelas untuk diketahui yaitu sebagai berikut :
1) Di
bagian Barat berbatasan dengan desa Alumang
2) Di
bagian Timur berbatasan dengan desa Lamma
3) Di
bagian Utara berbatasan dengan desa Marisa dan selat Alor
4) Di
bagian Selatan berbatasan dengan desa Kalondama 1.
Daerah pantai yang merupakan dataran tersebut adalah
tempat pemukiman masyarakat desa ini. Daerah-daerah lain dalam desa ini yang
tidak dihuni dijadikan sebagai tempat perladangan.
3.
Keadaan
Demografis Desa Kayang
Salah satu unsur dalam pembentukan suatu wilayah
adalah penduduk, dimana melalui penduduk inilah segala proses aktivitas
kehidupan di dalam wilayah itu bisa berjalan.
Berdasarkan
hasil data penelitian jumlah penduduk yang mendiami wilayah desa Kayang
berjumlah 740 jiwa, yang terdiri dari 360 jiwa laki-laki dan 380 jiwa
perempuan.
Untuk mengetahui keadaan penduduk wilayah desa
Kayang, lebih jelas dapat dilihat pada uraian sebagai berikut :
a. Keadaan Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Umur dan
Jenis Kelamin
Keadaan penduduk di desa Kayang berdasarkan tingkat
umur dan jenis kelamin berjumlah 740 jiwa atau
205 KK dengan perincian jumlah laki-laki sebanyak 360 jiwa dan perempuan
sebanyak 380 jiwa.
Untuk lebih jelasnya keadaan penduduk berdasakan
tingkat umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel
1
Keadaan Penduduk Desa
Kayang Berdasarkan Tingkat Umur
dan Jenis Kelamin
No
|
Kelompok Umur (Tahun)
|
Jenis Kelamin
|
Jumlah
(Jiwa)
|
|
Laki-Laki
(Jiwa)
|
Perempuan
(Jiwa)
|
|||
1
|
0
– 5
|
60
|
63
|
123
|
2
|
6
– 12
|
74
|
81
|
155
|
3
|
13
– 16
|
42
|
44
|
86
|
4
|
17
– 25
|
56
|
58
|
114
|
5
|
26
– 55
|
73
|
78
|
151
|
6
|
55 tahun ke atas
|
55
|
56
|
111
|
Jumlah
|
360
|
380
|
740
|
Sumber
: Profil desa Kayang tahun 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa
penduduk desa Kayang berjumlah 740 jiwa tersebut memiliki kelompok umur yang
berbeda-beda yaitu mulai dari kelompok umur 0-5 tahun sampai 55 tahun ke atas.
Dari tabel di atas terlihat kelompok umur yang
paling banyak yakni kelompok umur 6-12 tahun yakni sebanyak 155 jiwa dan
kelompok umur yang paling sedikit yaitu kelompok umur 13-16 tahun yaitu 86
jiwa.
b. Keadaan Penduduk Desa Kayang Berdasarkan Mata
Pencaharian
Penduduk desa Kayang pada umumnya hidup dari bertani
atau bercocok tanam sebagai penunjang hidup utama, disamping mata pencaharian
yang lain seperti nelayan, beternak dan sebagainya. Hasil utama dari pertanian
adalah jagung, ubi-ubian dan sebagainya.
Untuk mengetahui keadaan penduduk desa Kayang
berdasarkan mata pencaharian lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2
Keadaan Penduduk
Desa Kayang Berdasarkan Mata Pencaharian
No
|
Mata Pencaharian
|
Jumlah (Orang)
|
1
2
3
4
5
6
|
Petani
Nelayan
Wiraswasta
/ Pedagang
Pegawai
Negeri Sipil (PNS)
Pensiunan
PNS/TNI/POLRI
Buruh/Tukang
|
166
127
11
37
4
23
|
|
Jumlah
|
368
|
Sumber
: Profil desa Kayang tahun 2012
Tabel diatas menggambarkan bahwa penduduk di desa
Kayang memilki mata pencaharian yang cukup bervariasi, dengan perincian yakni
bermata pencaharian sebagai petani berjumlah 166 orang, nelayan 127 orang,
wiraswasta / pedagang 11 orang, Pegawai Negeri Sipil (PNS) 37 orang, pensiunan
PNS/TNI/POLRI 4 orang, dan buruh / tukang 23 orang.
Dari penjelasan tabel diatas , menunjukkan bahwa
penduduk desa Kayang lebih banyak bermata pencaharian sebagai petani bila
dibandingkan dengan jenis mata pencaharian yang lain.
c. Keadaan Penduduk Desa Kayang Menurut Tingkat
Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan
dasar bagi kehidupan masyarakat. Dengan modal pendidikan yang dimiliki
seseorang akan mampu mengelola segala potensi atau sumber daya alam yang ada
disekelilingnya guna memenuhi kebutuhan hidup. Pendidikan yang dimaksudkan
disini adalah pendidikan formal yang dimiliki oleh warga masyarakat desa Kayang
baik pada tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama, pendidikan
menengah atas maupun perguruan tinggi.
Untuk mengetahui lebih jelas keadaan penduduk desa
Kayang menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 3
Keadaan
Penduduk Desa Kayang Menurut Tingkat Pendidikan
No
|
Tingkat pendidikan
|
Jumlah (Orang)
|
1
2
3
4
5
6
|
Belum
Sekolah
SD
SMP/SLTP
SMA/SLTA
Perguruan
Tinggi (D1-D3 dan S1-S3)
Tidak
Sekolah
|
134
388
86
63
48
21
|
|
Jumlah
|
740
|
Sumber
: Profil desa Kayang tahun 2012
Tabel diatas menggambarkan bahwa penduduk desa
Kayang berdasarkan tingkat pendidikan yaitu dengan perincian yaitu belum
sekolah berjumlah 124 orang, berpendidikan SD berjumlah 388, berpendidikan
SMP/SLTP berjumlah 86 orang, berpendidikan SMA/SLTA berjumlah 63 orang,
berpendidikan perguruan tinggi berjumlah 41 orang, dan tidak sekolah berjumlah
38 orang.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa
penduduk desa Kayang yang berpendidikan paling banyak yakni berpendidikan SD
sebanyak 388 orang sedangkan yang paling sedikit yakni tidak sekolah / buta
huruf sebanyak 38 orang.
d. Keadaan Penduduk Desa Kayang Berdasarkan Agama /
Kepercayaan
Negara Indonesia merupakan negara yang plural
(majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang
dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras. Letak geografis Indonesia
yang berada di tengah-tengah dua benua, menjadikan negara ini terdiri dari
berbagai ras, suku bangsa, dan agama. Kemajemukan agama di Indonesia tidak
terlepas dari perjalanan sejarah bagaimana bangsa Indonesia itu muncul. Hal
tersebut ditandai dengan munculnya banyaknya kerajaan di Indonesia yang
menganut bermacam agama. Tidak diragukan lagi, perjalanan panjang sejarah
bangsa Indonesia itu mengakibatkan adanya beberapa agama yang dianut oleh
bangsa Indonesia pada masa-masa selanjutnya.
Agama merupakan suatu keyakinan yang dianut oleh
warga masyarakat, yang mengajarkan kepada manusia tentang nilai-nilai
kehidupan, baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat kelak. Agama memberikan penjelasan bahwa manusia
adalah makhluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur).
Dengan
demikian, maka pemerintah maupun warga masyarakat perlu bersama-sama
menciptakan iklim atau suasana yang aman dan nyaman sehingga masyarakat atau
umat beragama dapat menjalankan ibadah dengan tenang.
Untuk mengetahui keadaan penduduk masyarakat desa
Kayang berdasarkan agama / kepercayaan yang dianut secara jelas dapat dilihat
pada tabel sebagai berikut :
Tabel
4
Keadaan
Penduduk Desa Kayang Berdasarkan Agama/Kepercayaan
No
|
Agama/ Kepercayaan
|
Jumlah (Orang)
|
1
2
3
4
5
|
Islam
Kristen
Protestan
Kristen
Katholik
Hindu
Budha
|
738
12
-
-
-
|
|
Jumlah
|
740
|
Sumber
: Profil desa Kayang tahun 2012
Tabel diatas menjelaskan bahwa mayoritas penduduk
desa Kayang beragama Islam yakni berjumlah 738 orang, yang beragama Kristen
Protestan sebanyak 12 orang yang tidak lain adalah pegawai kecamatan, pegawai
kesehatan dan guru yang bertugas dan menetap di desa Kayang yang merupakan
ibukota kecamatan Pantar Barat Laut. Sedangkan yang beragama Kristen Katholik,
Hindu dan Budha tidak ada.
A. TAHAP-TAHAP PELAKSANAAN TARIAN TRADISIONAL HADING
HURI DALAM UPACARA ADAT PENYAMBUTAN TAMU TERHORMAT
Pelaksanaan tarian tradisional Hading Huri dalam
upacara adat penyambutan tamu terhormat terdapat berbagai prosesi atau
tahap-tahap yang dilakukan atau dilewati guna tercapainya upacara penyambutan
yang sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Prosesi atau tahap-tahap ini memiliki
makna dan tujuan yang ingin disampaikan oleh masyarakat setempat yakni sebagai
ucapan selamat datang dan penghargaan terhadap para tamu terhormat yang sudah
meluangkan waktu untuk berkunjung di daerah mereka. Intisari dari prosesi atau
tahap-tahap ini adalah proses penyambutan dengan menggunakan symbol kebudayaan
mereka yaitu tarian tradisional hading huri.
Adapun prosesi atau tahap-tahap dari upacara
penyambutan tamu terhormat ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Menunggu Di Pantai / Pelabuhan (Tedeng Lau
Watang)
Prosesi atau tahapan yang pertama pada tarian Hading
Huri dalam upacara adat penyambutan yang dilakukan sebelum para tamu
terhormat tiba di lokasi penjemputan yaitu prosesi menunggu di pantai /
pelabuhan (Tedeng Lau Watang). Sebagaimana telah dijelaskan sebelum bahwa letak wilayah
desa Kayang berada di pesisir maka setiap tamu yang datang berkunjung di
wilayah ini menggunakan jalur laut. Prosesi ini dilakukan oleh para penari yang
dilengkapi dengan peralatan / media yang digunakan seperti parang (Peda), tombak
(Turaing), tambur (Bawa), gong, selempang/selendang, dan ikat
kepala (Ganeba). Mereka telah bersedia untuk menyambut kedatangan para
tamu terhormat. Selanjutnya para penari dan tetua adat, tokoh masyarakat,
aparat pemerintah yakni kepala desa, kepala dusun dan lain-lain beserta seluruh
warga masyarakat bergerak menuju
pelabuhan / pantai (Watang) untuk menuggu tibanya para tamu terhormat.
2. Sapaan Adat Dari Pujangga Adat
Setelah para tamu terhormat tiba di lokasi
penjemputan yaitu pelabuhan / pantai (Watang), prosesi atau tahapan
selanjutnya yaitu sapaan adat oleh pujangga adat. Prosesi sapaan adat adalah
tahapan penyampaian ucapan selamat datang kepada para tamu terhormat. Yang
bertugas melakukan sapaan adat ini disampaikan oleh seseorang dari tokoh adat
yang telah dipilih. Sapaan adat yang disampaikan oleh pujangga adat itu adalah
sebagai berikut :
Hasil
wawancara dengan bapak Muslimin Saka (tokoh adat) pada tanggal 10 April 2012, 16:00.
Isi sapaan adat yang disampaikan oleh pujangga adat kepada para tamu terhormat
yakni :
“Nehu
larra kia, hama take nong larra-larra biasa atau larra wiang. Karena nehu larra
kia ama-ama ata peng hire nong na’ang rombongan eti Kalabahi. We adang kia
lawwo untuk pillo tite keadaan. We adang maring nong ratte pemerintah ra’ang
program bantuan. Adang kia lawwo kia we rencana kaing.
Sekarang
ama-ama ata peng hire sampe kia lawwo kaing. Atas nama masyarakat skali kia
lawwo kame ucapkan selamat datang untuk ama hire. Bapak kepala desa Kayang,
na’ng staf nong masyarakat skali we siap trima ama hire. Nehu kame sambut
ama-ama hire pake tarian hading huri kain. Ama-ama hire, silakan tite pana tai
kalli uling yang kame siap kaing”.
Artinya
:
“Pada
hari ini, tidak seperti hari-hari biasa dan hari-hari kemarin. Dalam hal ini
bapak yang terhormat bersama staf dan rombongannya dari Kalabahi. Mereka ingin
berkunjung dan melihat keadaan masyarakat di desa Kayang. Mereka datang untuk
menyampaikan atau membawa suatu program pemerintah kepada masyarakat. Rencana
tersebut sudah dijadwalkan oleh bapak yang terhormat beserta stafnya.
Sekarang
bapak dan rombongan sudah tiba, atas nama seluruh masyarakat desa Kayang kami
ucapkan selamat datang kepada bapak beserta staf dan rombongan. Bapak kepala
desa bersama stafnya serta seluruh masyarakat desa Kayang siap menerima
kedatangan bapak dan rombongannya. Bapak yang terhormat serta rombongan telah
disambut dengan tarian tradisional Hading Huri. Sekarang bapak dan staf
serta rombongan silakan berjalan menuju ke tempat yang telah kami siapkan”.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan lapangan
diatas, dapat disimpulkan bahwa sapaan adat adalah suatu ungkapan bahasa kiasan
yang disampaikan oleh pujangga adat kepada para tamu sebagai bentuk ucapan
selamat datang dan penghargaan secara adat kepada para tamu terhormat karena
masyarakat merasa senang dan gembira atas kedatangan para tamu terhormat
beserta rombongan yang disambut dengan tarian tradisional hading huri melalui
upacara adat penyambutan.
3. Pengalungan Selempang/Selendang (Loge)
Setelah sapaan adat oleh pujangga adat tahapan
selanjutnya yakni pengalungan selempang/selendang (Loge) kepada para
tamu terhormat. Alat pengalungan yang disediakan yaitu selempang/selendang yang
ditenun dengan hiasan berbagai motif. Yang bertugas melakukan pengalungan
selempang/selendang (Loge) adalah seorang wanita yang dianggap memiliki
kharisma dan telah dipilih sebelumnya. Prosesi pengalungan kepada para tamu
terhormat merupakan suatu penghargaan kepada para tamu oleh masyarakat desa
Kayang yang sudah berkenan mengunjungi desa mereka.
4. Suguhan Makanan Dan Minuman Kepada Para Tamu
Terhormat (Rakkang Renung)
Setelah prosesi penjemputan, sapaan adat dan
pengalungan selempang/selendang (Loge) yang disertai dengan mengantar
para tamu terhormat ke tempat yang telah di siapkan maka tahapan selanjutnya
adalah penyuguhan makanan dan minuman (rakkang renung) kepada para tamu
terhormat. Pada prosesi atau tahapan ini, sebelum para tamu menyantap hidangan
terlebih dahulu disampaikan sapaan adat yang disampaikan oleh pujangga adat.isi
sapaan adatnya adalah sebagai berikut :
Hasil
wawancara dengan ibu Mahdia (Istri kepala suku Muko Bao) pada (tanggal 15 April
2012, 18:30) sapaan adat yang disampaikan saat penyuguhan makanan yaitu :
“Ama-ama
hire, kame siap makanan nong minuman kaing, jadi sekarang tite hama-hama takka makanan
yang hanya wata nong ikang nong kalolong kia. Ama-ama hire, silakan mi geng
makanan sederhana yang kame siap kia”.
Artinya
:
“Para
bapak-bapak yang terhormat beserta rombongannya, kami telah menyiapkan makanan
dan minuman yang seala kadarnya(sederhana). Sekarang saatnya kita bersama-sama
menyantap hidangan yang berupa nasi, lauk dan sayuran ini. Bapak-bapak yang
terhormat silakan menikmati hidangan yang kami sediakan ala kadarnya(sederhana)
ini.”
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan di
lapangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa menyuguhkan makanan dan minuman
kepada para tamu terhormat di anggap penting sebagai bentuk penghargaan kepada
para tamu sehingga sebelum menyantap hidangan yang telah tersedia sebelumnya di
awali dengan sapaan adat oleh pujangga adat.
Berdasarkan hasil pembahasan penelitian diatas
tahapan atau prosesi yang dilakukan oleh masyarakat desa Kayang pada
pelaksanaan tarian tradisional Hading Huri dalam upacara adat
penyambutan tamu terhormat dapat disimpulkan bahwa masyarakat desa Kayang melakukan
prosesi atau tahapan tersebut diatas merupakan kebiasaan yang harus dilewati
oleh masyarakat dengan tujuan sebagai penghargaan bagi siapa saja yang
berkunjung, yang mempunyai niat yang baik dan ingin membangun dan menjalin rasa
persaudaraan.
B. ALAT ATAU MEDIA YANG DIGUNAKAN DALAM TARIAN
TRADISIONAL HADING HURI PADA UPACARA ADAT PENYAMBUTAN TAMU TERHORMAT
Alat atau media merupakan perantara atau penghubung
antara masyarakat setempat dengan para tamu terhormat dalam upacara
penyambutan. Keberadaan alat atau media ini sangat penting untuk menunjang
berlangsungnya dan suksesnya pelaksanaan tarian tradisional hading huri dalam
upacara adat penyambutan tamu terhormat. Alat atau media perantara ini memiliki
fungsi masing-masing dalam pelaksanaan upacara penyambutan.
Berkaitan dengan pokok permasalahan diatas mengenai
alat atau media apakah yang digunakan dalam pelaksanaan tarian tradisional Hading
Huri pada upacara adat penyambutan tamu terhormat, hasil temuan dilapangan
yakni sebagai berikut :
Hasil wawancara dengan bapak Anwar (03 April 2012,
16:30) yaitu kepala suku Muko Bao. Alat atau media yang digunakan dalam
tarian tradisional Hading Huri pada upacara penyambutan tamu terhormat
yaitu :
“Bahwa
dibutuhkan (1) Para penari, adapun pakaian adat dan alat atau media yang
digunakan yaitu : Sarung tenun (Kawate), Selendang/selempang, ikat
kepala (Ganeba), topeng, parang (Peda), tombak (Turaing).
(2) Selendang/selempang yg terbuat dari sarung tenun dengan motif yg
bermacam-macam, (3) Tambur (Bawa) yang terbuat dari kayu dan kulit
kambing atau sapi, (4) Gong, (5) Ijuk sebagai pakaian untuk kepala suku (6)
Sirih pinang (Ua Malu), (7) Tempat sirih pinang (Hoka Liling) (8)
Tamu terhormat seperti Presiden, Gubernur, Bupati dan lain-lain ; dan (9) Masyarakat”.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan
dilapangan tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa alat atau media yang
digunakan sebagai perantara atau penghubung diatas memiliki fungsi dan peran
serta yang sangat penting dalam tarian tradisional Hading Huri. Untuk
lebih jelasnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Para Penari Laki-Laki (Kalake)
Para penari laki-laki (Kalake) berjumlah
sekurang-kurangnya tujuh orang yang terdiri atas enam orang penari dan satu
orang yang berperan sebagai kepala suku. Para penari membentuk dua kelompok
masing-masing tiga orang dengan rentang jarak yang cukup jauh. Sedangkan kepala
suku mengambil tempatnya tersendiri dan berpisah dengan kedua kelompok penari
tersebut. Para penari laki-laki (Kalake) akan melakukan gerakan menari setelah
musik pengiring yang berupa tambur (Bawa) dan gong mulai ditabuh. Mereka
melakukan gerakan menari dengan menghentak-hentakkan kaki ke tanah dan sesekali
berputar sambil mengacungkan parang (Peda) dan tombak (Turaing)
secara berhadapan dengan seorang penari dari kelompok lain.
2. Para Tamu Terhormat
Adalah
orang-orang terhormat beserta rombongan yang berkunjung seperti Presiden,
Gubernur, Bupati dan lain-lain yang melakukan kunjungan baik kunjungan itu
bersifat politis, membawa program / paket bantuan, ataupun sekedar mengunjungi
saja. Makna bagi masyarakat setempat merupakan suatu kehormatan yang sangat
tinggi karena telah dikunjungi oleh para tamu terhormat yang telah disebutkan
diatas.
3. Masyarakat
Adalah seluruh masyarakat desa Kayang, baik dari
aparatur pemerintah seperti kepala desa beserta stafnya maupun masyarakat awam
seperti kepala adat, tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh masyarakat dan masyarakat
biasa. Fungsinya untuk melakukan acara penyambutan terhadap para tamu yang
berkunjung dengan melakukan upacara penyambutan.
4. Selempang/Selendang
Selendang/selempang adalah alat atau benda yang
terbuat dari kain yang di tenun dengan berbagai motif dan warna yang
bermacam-macam. Fungsinya sebagai penghargaan atau hadiah dari masyarakat desa
Kayang kepada para tamu yang diwujudkan dengan mengalungkan pada leher para
tamu. Selempang/selendang ini memiliki makna yang sangat penting bagi
masyarakat setempat dan merupakan ciri khas dari kebudayaan kesenian daerah
setempat.
5. Parang (Peda)
Parang (Peda) adalah sebuah alat yang terbuat
dari besi yang digunakan oleh penari pada saat pelasanaan tarian tradisional Hading
Huri dalam upacara penyambutan tamu terhormat. Fungsinya sebagai lambang
dari keperkasaan dan kekuatan laki-laki (Kalake) dalam melindungi dan
menjaga semua milik mereka dari gangguan orang/musuh.
6. Tombak (Turaing)
Tombak adalah senjata tajam dan runcing terbuat dari
besi, bermata dua, dan bertangkai panjang terbuat dari kayu untuk menusuk dari
jarak dekat atau jauh dengan cara melemparkan. Fungsinya adalah sebagai senjata
pelengkap selain parang (Peda) yang digunakan oleh para penari selama
pelaksanaan tarian tradisional Hading Huri.
7. Tambur (bawa)
Tambur (Bawa) adalah alat musik yang terbuat
dari kayu dan kulit kambing, rusa ataupun sapi. Fungsinya adalah sebagai musik
pengiring selama pelaksanaan tarian tradisional Hading Huri. Tambur (Bawa)
merupakan alat musik tradisional yang ada sejak jaman nenek moyang dan
diperbaharui hingga sekarang untuk digunakan sebagai pelengkap dalam
berbagai kesenian daerah.
8. Gong
Gong adalah alat musik yang terbuat dari logam atau
perunggu. Fungsinya adalah sebagai alat musik pengiring selama berlangsungnya
tarian tradisional Hading Huri. Gong juga sering digunakan sebagai alat musik
pelengkap dalam berbagai kesenian daerah seperti lego-lego dan lain sebagainya.
9. Ikat Kepala (Ganeba)
Ikat kepala (Ganeba) adalah alat yang terbuat
dari daun lontar yang kedua ujungnya
diikat, dan bagian tengahnya dibiarkan untuk dipasang pada kepala para penari. Ukuran
alat ini tergantung pada bentuk dan ukuran kepala para penari.
10. Tempat Sirih Pinang (Hoka Liling)
Tempat sirih pinang (Hoka Liling) yaitu
anyaman yang terbuat dari daun lontar yang berfungsi untuk menyimpan sirih
pinang. Selama pelaksanaan tarian tradisional , tempat sirih pinang (Hoka
Liling) ini hanya dibawa oleh kepala suku. Bentuknya bermacam-macam
tergantung keinginan orang yang menganyam.
11. Sirih pinang (Ua Malu)
Adalah makanan tradisional masyarakat Alor pada
umumnya dan masyarakat desa Kayang pada khususnya yang terdiri dari buah siri
dan buah pinang dan kapur yang disimpan di tempat tersendiri yang disebut Suppu.
Sirih pinang merupakan lambang persahabatan dari masyarakat Alor pada umumnya
dan masyarakat desa Kayang pada khususnya terhadap tamu asing sesama masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari. Fungsinya sebagai penghargaan pertama yang
diberikan masyarakat desa Kayang kepada para tamu.
12. Topeng
Topeng adalah benda dari kertas, kayu, plastik, atau
kain, yang dipakai untuk menutup wajah seseorang. Topeng telah menjadi salah
satu bentuk ekspresi paling tua yang pernah diciptakan manusia. Pada sebagian
besar masyarakat, topeng memegang peranan penting dalam berbagai sisi
kehidupan, karena menyimpan nilai-nilai magis. Peranan topeng sangat besar
sebagai simbol-simbol khusus dalam berbagai upacara dan kegiatan adat.
Wujud topeng yang diekspresikan oleh manusia pada
awalnya adalah untuk upacara keagamaan, dan kemudian diekspresikan juga melalui
bentuk atraksi untuk menyertai berbagai ritual tertentu. Bentuk topeng
bermacam-macam, hal ini disebabkan oleh perilaku adaptif dari manusia yang
mengimitasi berbagai objek, misalnya menggambarkan binatang dalam bentuk
atraksi ritual ‘perburuan’, menggambarkan roh-roh atau makhluk-makhluk
tertentu. Pada perkembangannya, topeng lebih sepesifik juga menggambarkan watak
manusia, dan tempramental emosionalnya, seperti: marah, ada yang lembut, dan
adapula yang bijaksana.
13. Sarung Tenun (Kawate)
Sarung tenun (Kawate) adalah sarung tenun yang
dibuat dengan cara ditenun dengan alat tenun bukan mesin yang terbuat dari kayu.
Membuat sarung tenun dengan alat tenun bukan mesin membutuhkan keterampilan,
ketelitian, dan kesabaran yang tinggi. Untuk menyelesaikan selembar sarung
tenun, membutuhkan waktu berminggu-minggu. Fungsinya adalah untuk digunakan
sebagai pelengkap pakaian adat yang dikenakan oleh para penari, bisa juga dipakai
sebagai pakaian sehari-hari maupun dikenakan saat beribadah. Sarung juga
dipakai sebagai selimut, dan biasa juga dikenakan oleh wanita.
14. Ijuk
Ijuk yaitu serabut pada pangkal atau pelepah pohon
enau. Fungsinya adalah sebagai pelengkap pakaian yang hanya dipakai oleh kepala
suku selain sarung tenun (Kawate) dan selempang/selendang.
C. MAKNA TARIAN TRADISIONAL HADING HARI DALAM UPACARA
ADAT PENYAMBUTAN TAMU TERHORMAT.
Khasanah budaya dari masing-masing daerah memiliki
ciri khas tersendiri dan bermakna pula bagi penganut budaya tersebut saja.
Peranan kesenian tradisional sangat penting dalam kehidupan manusia. Berbagai
acara yang ada dalam kehidupan manusia memanfaatkan tarian tradisional untuk mendukung
prosesi acara kepentingannya. Masyarakat membutuhkannya bukan saja sebagai
kepuasan estetis saja, melainkan juga untuk keperluan upacara agama dan adat.
Dalam budaya kesenian masyarakat desa Kayang, tarian
tradisional Hading Huri merupakan simbol penyampaian perilaku-perilaku
kehidupan dalam kebudayaan dengan tujuan memberikan penghargaan bagi siapa saja
yang mereka anggap memiliki status kehidupan lebih tinggi yang dituangkan atau
dilakukan melalui berbagai acara-acara adat. Tarian tradisional Hading Huri
ini memiliki makna yang begitu penting dalam kehidupan berbudaya mereka.
Kebiasaan-kebiasaan membawakan tarian tradisional hading huri bagi masyarakat
desa Kayang selalu di implementasikan dalam setiap upacara-upacara penting
seperti upacara penyambutan tamu-tamu terhormat, upacara keagamaan, upacara
syukuran dan lain sebagainya. Tarian tradisional Hading Huri merupakan
warisan dari nenek moyang masyarakat desa Kayang maka sepatutnya setiap warga
masyarakat harus menjaga, melindungi dan melestarikan kebudayaan khususnya
tarian tradisional Hading Huri dari nenek moyang tersebut.
Berkaitan dengan pokok permsalahan dan tujuan dari
penelitian diatas mengenai makna tarian tradisional Hading Huri dalam
upacara adat penyambutan tamu terhormat, peneliti melakukan wawancara dengan
informan yang dianggap mengetahui pokok permasalahan diatas, peneliti menemukan
beberapa makna yang terkandung dalam tarian tradisional Hading Huri
yaitu sebagai berikut :
Hasil
wawancara dengan Bapak Anwar (kepala suku MukoBao) pada (Tanggal 01
April 2012, 20:00) berdasarkan tujuan dari penelitian diatas mengatakan :
“Tarian
tradisional Hading Huri merupakan tarian yang dilakukan untuk
mengingatkan kembali akan sebuah tragedi atau peristiwa yang terjadi pada jaman
dahulu, yaitu pertikaian yang berakhir dengan peperangan antara dua orang
bersaudara yaitu Jalla Ga’ung dan Nali Ga’ung karena merebutkan sebidang tanah.
Tarian
tradisional Hading Huri ini mulai di tarikan pada tahun 1963. Pada
awalnya tarian ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari suku Muko
Bao. Kemudian seiring berjalannya waktu dan perkembangan penduduk di desa
Kayang yang semakin heterogen dengan bertambahnya suku-suku lain yang datang
dan menetap di desa Kayang. Untuk menciptakan suasana hidup yang rukun dan
damai dalam keberagaman (heterogen) tersebut maka suku Muko Bao sebagai suku
pemilik tarian tradisional Hading Huri memberikan kesempatan kepada
orang-orang dari suku lain untuk ikut bergabung dalam tarian tradisional ini.
Tarian
tradisional Hading Huri ini mulai digunakan untuk menyambut para tamu
terhormat pada tahun 1971 ketika bupati Alor pada saat itu Umbu Dicky
mengunjungi desa Kayang. Tarian ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa dari masyarakat desa Kayang atas kedatangan para
tamu terhormat yang mengunjungi desa mereka. Selain itu tarian tradisional Hading
Huri juga merupakan salah satu wujud dari sikap saling menghormati dan
menghargai satu sama lain yang ditujukan melalui ucapan selamat datang dengan
sapaan adat dan pengalungan selempang/selendang (Loge). Tarian
tradisional Hading Huri yang dilakukan dalam upacara adat penyambutan
juga merupakan wujud dari rasa persatuan dan kesatuan antara masyarakat desa
Kayang yang heterogen dan para tamu terhormat agar bisa menjaga, melindungi,
dan membangun desa Kayang menjadi desa yang maju dan mandiri”.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan lapangan
diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam proses penyambutan tamu
terhormat yang dilakukan oleh masyarakat desa Kayang kepada tamu terhormat
dengan melakukan upacara penyambutan yang dijelaskan pada pokok-pokok terdahulu
diatas mengandung beberapa makna yang ingin disampaikan dan ditunjukkan oleh
masyarakat kepada para tamu terhormat yaitu sebagai berikut :
1. Ucapan Syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa
Masyarakat Alor pada umumnya dan desa Kayang pada
khususnya adalah salah satu dari etnis yang ada di Propinsi Nusa Tenggara Timur
yang memiliki kultural terhadap agama dan kepercayaan kepada Tuhan sangat
kental dan mendalam. Sikap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang ditanamkan
oleh orang-orang tua kepada generasi muda penerus ditunjukkan melalui
kegiatan-kegiatan upacara adat. Berbagai upacara dan prosesi adat dilakukan
sebagai persembahan kepada sang pencipta yang telah memberikan mereka umur yang
panjang, rejeki dan kehidupan yang tentram dan damai.
Dalam berbagai pelaksanaan upacara adat sikap yang
paling utama mereka ingin sampaikan adalah sikap selalu mensyukuri apa yang
telah diberikan sang pencipta. Mereka percaya bahwa jika mereka bersyukur atas
semua pemberian-Nya maka Tuhan akan memberkahi kehidupan. Motivasi inilah yang
menjadi pegangan para orang tua dan generasi muda penerus setempat apabila
melakukan kegiatan-kegiatan upacara adat yang telah diwariskan oleh nenek
moyang mereka.
Penggunaan tarian tradisional Hading Huri dalam
upacara adat penyambutan tamu terhormat yang dilakukan oleh masyarakat setempat
adalah tradisi adat yang harus dalam pelaksanaan penjemputan bagi para tamu
yang dianggap penting dan memiliki status yang tinggi. Upacara penyambutan
terhadap para terhormat ini dilakukan untuk menunjukkan rasa syukur terhadap Tuhan
Yang Maha Esa karena dengan ijin-Nyalah para tamu terhormat bisa datang dan
meluangkan waktu untuk melihat keadaan daerah mereka dengan harapan membawa
perubahan yang lebih baik kedepannya terhadap perkembangan pembangunan daerah
dan kehidupan masyarakat setempat.
2. Menghormati dan Menghargai Satu Sama Lain
Sikap dan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara setiap masyarakat dituntut untuk saling menghormati dan menghargai
satu sama lain. Seiring perkembangan jaman, perubahan dalam sikap dan perilaku
manusia berubah pula, sehingga banyak masyarakat lupa kepada
kebiasaan-kebiasaan saling menhormati dan menghargai antar sesama yang
seharusnya dalam bentuk perilaku maupun simbol-simbol kebudayaan suatu daerah.
Sikap saling menghormati dan menghargai satu sama
lain dalam kehidupan masyarakat Alor dan desa Kayang pada khususnya merupakan
sikap dan perilaku yang sangat penting yang ditunjukkan dalam berinteraksi dengan
masyarakat luar. Sikap dan perilaku tersebut ditunjukkan melalui pelaksanaan
tarian tradisional Hading Huri dalam upacara adat penyambutan tamu
terhormat. Tradisi masyarakat Alor dan desa Kayang pada khususnya dalam
rangkaian pelaksanaan tarian tradisional Hading Huri tersebut dengan
melakukan berbagai prosesi atau tahapan kegiatan adalah wujud dari sikap dan
perilaku yang ingin ditunjukkan masyarakat kepada para tamu sebagai sikap
saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
Pelaksanaan tarian tradisional Hading Huri melalui
prosesi sapaan adat yang disampaikan oleh pujangga adat yang berupa ucapan
selamat datang kepada para tamu terhormat menunjukkan bahwa masyarakat setempat
ingin menunjukkan dan menyampaikan bentuk sikap menghormati dan menghargai atas
kedatangan para tamu. Prosesi pengalungan selempang/selendang (Loge)
dilakukan untuk memberikan penghormatan dan penghargaan bahwa inilah bentuk
tradisi untuk mengucapkan rasa terima kasih masyarakat kepada para tamu.
Prosesi penyuguhan makanan dan minuman (Rakkang Renung) kepada para tamu
merupakan bagian dari suatu tradisi untuk menghormati dan menghargai para tamu
sebagai bukti bahwa inilah hasil dari alam mereka yang bisa dinikmati oleh
siapa saja.
3. Menjalin Rasa Persatuan Dan Kesatuan
Kembali kepada awal mula terciptanya tarian
tradisional Hading Huri yaitu pertikaian yang berlanjut pada peperangan
antara dua orang bersaudara kemudian muncullah kepala suku untuk mendamaikan
mereka. Maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pelaksanaan tarian
tradisional Hading Huri dalam upacara adat penyambutan tamu terhormat pada
masyarakat desa Kayang bahwa mereka ingin menunjukkan agar kita harus selalu
hidup bersaudara dan bersama. Sikap tersebut terlihat jelas pada
tahapan-tahapan dan alat atau media yang digunakan pada tarian tradisional Hading
Huri dalam upacara penyambutan. Dalam tahapan sapaan adat yang berupa
ucapan selamat datang kepada para tamu terhormat bisa terjalin rasa persatuan
dan kesatuan guna membangun daerah ke depannya menjadi maju dan mandiri.
Prosesi atau tahapan
pengalungan selempang/selendang (Loge) terhadap para tamu terhormat
merupakan pemberian penghargaan kepada para tamu sebagai bukti bahwa inilah
kebiasaan masyarakat setempat untuk mempererat hubungan persaudaraan antar
sesama. Prosesi atau tahapan selanjutnya yaitu penyuguhan makanan dan minuman (rakkang
renung) merupakan sikap masyarakat Alor dan desa Kayang khususnya
menunjukkan bahwa dengan mencicipi hasil alam dapat menumbuhkan rasa persatuan
dan kesatuan , mempererat tali persaudaraan serta saling menghargai dan menghormati
antara masyarakat dan para tamu yang berkunjung di daerah mereka